Kasus Bullying: Buah Pahit dari Fondasi Usia Dini yang Rapuh

TPA MPA Daycare saat menerima kunjungan dari DPPKB (Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kab. Karawang, serta dari Pertamina.
Bullying tidak lahir tiba-tiba di ruang kelas. Ia adalah buah panjang dari proses perkembangan yang tidak dijaga sejak hari pertama seorang anak belajar berinteraksi. Ketika masa usia dini diabaikan, sekolah kelak hanya akan menjadi tempat kita memanen perilaku yang sudah mengeras.

Kasus bullying di sekolah—baik di SD, SMP, maupun SMA, atau bahkan yang lebih tinggi lagi—semakin sering muncul ke permukaan. Video pertengkaran, tindak kekerasan verbal, hingga kekerasan fisik yang direkam dan dibagikan di media sosial membuat publik semakin gusar. Kita cenderung menyalahkan lingkungan sekolah, guru, bahkan kurikulum, sementara ada satu elemen yang sering luput dari perhatian: fondasi perkembangan anak yang dibentuk sejak masa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Sebelum anak memakai seragam SD, mereka telah membawa bekal pola komunikasi, cara mengelola emosi, kemampuan berempati, serta cara menyelesaikan konflik. Jika bekal ini kuat, anak lebih siap menghadapi dinamika sosial di sekolah dasar. Jika bekal ini rapuh, maka risiko menjadi pelaku maupun korban bullying meningkat tajam.

PAUD: Masa Pembentukan Empati Paling Kritis

Usia 0–6 tahun adalah masa ketika anak belajar memahami perasaan orang lain. Anak mulai mengenali ekspresi sedih, marah, senang, atau kecewa, lalu belajar bagaimana meresponsnya. PAUD menyediakan ruang aman untuk latihan ini: melalui permainan bersama, berbagi alat, menunggu giliran, dan belajar bekerjasama.

Tanpa stimulasi yang memadai pada masa dini, anak akan memasuki jenjang SD dengan “ketidakmatangan empati”. Mereka kesulitan memahami bahwa temannya bisa terluka atau tertekan. Dan itulah bibit dari perilaku intimidatif yang kelak tumbuh menjadi bullying.

Sebagian besar kasus bullying berakar dari ketidakmampuan anak mengontrol emosi. Anak yang marah lalu memukul, anak yang tersinggung lalu mengejek, atau anak yang ingin mendominasi kelompoknya. PAUD yang berkualitas mengajarkan regulasi emosi melalui aktivitas sederhana: menenangkan diri, menggunakan kata-kata untuk menyampaikan perasaan, mengikuti aturan kelas, serta menunggu giliran.

Anak yang tidak melalui fase di atas cenderung tumbuh dengan reaksi impulsif. Ketika masuk SD, SMP, atau SMA, reaksi impulsif itu berubah menjadi agresi.

PAUD Mengurangi Kesenjangan Kesiapan Sosial Anak

Banyak orang tua masih memandang PAUD sekadar tempat bermain, sehingga merasa aman jika anak langsung masuk SD tanpa pengalaman PAUD. Padahal secara penelitian, anak yang melewatkan PAUD berisiko menghadapi:

  • kecanggungan sosial,
  • kurang percaya diri,
  • kesulitan memahami aturan kelompok,
  • keterlambatan kemampuan bahasa,
  • ketidaksiapan emosional menghadapi lingkungan baru.

Kondisi di atas membuat anak lebih mudah menjadi sasaran bullying. Sebaliknya, ada anak yang menutupi ketidakmampuannya dengan perilaku dominan—yang berpotensi menjadi pelaku bullying.

PAUD Mengajarkan Pola Penyelesaian Konflik yang Sehat

Konflik adalah bagian alami dari tumbuh kembang anak. Di PAUD, ketika dua anak berebut mainan, guru akan memfasilitasi mereka untuk:

  • menyampaikan perasaan,
  • mengidentifikasi masalah,
  • menunggu giliran,
  • berbagi,
  • meminta maaf,
  • bernegosiasi.

Pengalaman itulah yang membentuk pola berpikir: “konflik bisa diselesaikan tanpa kekerasan.” Jika anak tidak pernah mengalami proses ini, maka mereka tumbuh dengan cara penyelesaian konflik yang tidak sehat: menguasai, mengancam, atau mempermalukan—pola yang menjadi ciri bullying di jenjang sekolah berikutnya.

Bullying tidak muncul tiba-tiba saat anak duduk di kelas 5 SD atau kelas 2 SMP. Perilaku tersebut adalah buah yang tumbuh dari:

pola asuh keluarga, lingkungan bermain, stimulasi sosial pada masa toddler dan pra-sekolah, keteladanan orang dewasa, kualitas interaksi di PAUD.

Jika fondasi di atas tidak diperkuat sejak dini, maka sekolah dasar akan kewalahan, guru BK di SMP tertekan, dan SMA hanya akan “memanen” perilaku yang sudah mengakar.

Setiap kali terjadi kasus bullying, solusi yang muncul hampir selalu berupa hukuman, mediasi, atau penguatan peran guru BK. Tentu ini penting. Namun tanpa penguatan PAUD, semuanya hanya memadamkan api, bukan mencegah sumbernya.

PAUD adalah investasi yang memberi imbal hasil jangka panjang: pembentukan karakter, kesiapan sosial, dan kemampuan mengelola emosi. Memperkuat PAUD = Mengurangi Bullying.

Jika kita ingin menurunkan angka bullying, maka langkah paling strategis bukan hanya membuat regulasi di sekolah menengah, melainkan memperkuat:

  • Kualitas guru PAUD dalam pengasuhan sosial-emosional
  • Kurikulum berbasis permainan positif dan kolaborasi
  • Peran orang tua sejak masa bayi dan toddler
  • Lingkungan PAUD yang aman dan suportif
  • Pelatihan deteksi dini masalah perilaku
Itulah “vaksin sosial” pertama anak.

Bullying: Tanda Kita Terlambat Berinvestasi di Usia Dini

Bullying seharusnya tidak dilihat hanya sebagai masalah disiplin, tapi sebagai indikator bahwa masa emas usia dini tidak dimanfaatkan dengan optimal. Jika anak mendapatkan pengalaman sosial yang sehat dan stimulasi emosi yang tepat sejak PAUD, maka risiko bullying pada jenjang pendidikan berikutnya akan menurun drastis.

Pada akhirnya, mencegah bullying bukan hanya tugas guru atau konselor sekolah. Mencegah bullying adalah pekerjaan semua pihak—dimulai dari keluarga, diperkuat oleh PAUD, dan dilanjutkan oleh sekolah di jenjang setelahnya. Bullying adalah masalah yang akar penyelesaiannya harus dimulai dari usia dini. Dan akar penyelesaian itu hanya bisa diperkuat melalui PAUD yang berkualitas.

Posting Komentar untuk "Kasus Bullying: Buah Pahit dari Fondasi Usia Dini yang Rapuh"